Kamis, 06 Februari 2014

MONUMEN MANDALA " PEMBEBASAN IRIAN BARAT " Saksi sejarah yang tak terlupakan



Operasi Trikora, juga disebut Pembebasan Irian Barat, adalah konflik 2 tahun yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah Papua bagian barat. Pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno (Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta. Soekarno juga membentuk Komando Mandala. Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia.

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua bagian barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu 1 tahun.

Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua bagian barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia mengklaim Papua bagian barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia beberapa kali menyerang Papua bagian barat, Belanda mempercepat program pendidikan di Papua bagian barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957. Sebagai kelanjutan, pada 17 Agustus 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Tidore, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah yang dilantik pada tanggal 23 September 1956.

Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun tidak menyebut kandungan emas ataupun tembaga.

Demikian sejarah singkat tentang Operasi Trikora, kembali kepada perjalanan ini, ternyata di dalam monumen terdapat biorama yang dapat dilihat sebagai cacatan sejarah bangsa ini.


Monumen/Prasasti Anggota TNI Yang Gugur/Hilang Tercatat 215 Orang


Catatan Sejarah Di Monumen Mandala

  • Kongres Rakyat Pembentukan Provinsi Irian Barat di Maluku (1955)

Sesuai hasil Kongres Rakyat seluruh Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta pada bulan Agustus 1955 yang dihadiri 500 orang wakil-wakil dari berbagai daerah yang telah menghasilkan suatu resolusi mengenai Irian Barat. Resolusi tersebut antara lain berbunyi: Perjuangan untuk pembebasan Irian Barat merupakan sebagain dari perjuangan nasional rakyat Indonesia dan pembentukan Provinsi Irian Barat harus dipercepat. Sebagai tindak lanjut dari resolusi tersebut dalam tahun itu juga di Soasiu, Maluku dibentuk Kongres Rakyat Pembentukan Provinsi Irian Barat. Presiden Soekarno secara resmi mengesahkan pembentukan Provinsi Irian Barat dan menunjuk Sultan Zainal Abidin Sjah sebagai gubernurnya. Di hadapan peserta kongres, Menteri Dalam Negeri melantik secara resmi Sultan Zainal Abidin Sjah sebagai Gubernur Irian Barat.

  • Pembentukan Front Nasional Pembebasan Irian Barat (17 Januari 1958)

GUna merealisasikan pidato kenegaraan Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1958 yang berjudul Tahun Tantangan, maka ditempuhlah jalan lain di luar diplomasi dalam penyelesaian masalah Irian Barat. Sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Perang Pusat No. Kpts (Peperpu) 012/1958 maka pada tanggal 17 Januari 1958 dibentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) yang diketuai oleh KSAD Mayor Jenderal A.H. Nasution di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) Jakarta. Sebagai Sekretaris Jenderal FNPIB adalah Letnan Kolonel Pamoe Rahardjo, sedangkan anggota-anggotanya terdiri dari Badan Kerja Sama (BKS) Pemuda Militer, BKS Tani Militer, BKS Buruh Militer, BKS Wanita Militer, BKS Ulama Militer, BKS Khusus dan Badan Pekerja Legium Veteran.


  • Tri Komando Rakyat (19 Desember 1961)

Sehubungan dengan sikap Belanda yang tidak bersedia menyelesaikan konflik Irian Barat melalui forum PBB, Pemerintah RI tidak bersedia lagi melakukan perundingan. Sejak saat itu Pemerintah RI menitikberatkan perjuangan pembebasan Irian Barat dalam bidang militer. Sebagai tindak lanjut pada tanggal 19 Desember 1961 di Alun-Alun Yogyakarta Presiden Soekarno mengkomandokan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) yang berbunyi sebagai berikut:

  1. Gagalkan pembentukan Negara Boneka Papua buatan Belanda;
  2. Kibarkan Sang Merah Putih di irian Barat tanah Air Indonesia;
  3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

  • Mobilisasi Umum, 4-8 Januari 1962 di Makassar

Tindak lanjut dari TRIKORA, maka di seluruh Indonesia mulai dari tigkat Pusat dan Daerah dilakukan mobilisasi umum dalam rangka pembebasan Irian Barat. Seluruh kekuatan cadangan Nasional dikerahkan. Sebelum dilakukan mobilisasi umum didahului dengan kampanye melalui rapat-rapat raksasa mulai dari tingkat Pusat hingga Daerah. Pada tanggal 4 s.d. 8 Januari 1962 di Lapangan Karebosi Makassar diadakan rapat raksasa dalam rangka pembebasan Irian Barat. Dalam rapat itu hadir Presiden Soekarno, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal A.H. Nasution dan Panglima Daerah Militer XIV/Hasanuddin. Pada kesempatan itu Presiden Soekarno mengatakan "Rebut Irian Barat sebelum Ayam Berkokok".


  • Pelantikan Panglima Mandala di Istana Bogor oleh Presiden Soekarno, 13 Januari 1962

Setelah Trikora dikomandokan di Yogyakarta, pada tanggal 2 Januari 1962 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Nomor 1/1962 yang isinya membentuk Komando Mandala untuk membebaskan Irian Barat bersifat gabungan. Kemudian Presiden Soekarno menunjuk Brigadir Jenderal (Brigjen) Soeharto dan menaikkan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal (Mayjen), sebagai Deputy Wilayah Indonesia Timur dan Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Mayor Jenderal Soeharto dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 13 Januari 1962 di Istana Bogor.


  • Pertempuran Laut Aru, 15 januari 1962

Tiga buah kapal Motor Terpedo Boat (MTB) ALRI, yaitu KRI Macan Tutul, KRI Macan Kumbang, dan KRI Harimau, pada tanggal 15 Januari 1962 melakukan gerakan malam di sekitar Kepulauan Aru. Gerakan ini bertujuan untuk melakukan infiltrasi pasukan ke daerah Irian Barat lewat laut. Gerakan kapal ALRI tersebut telah diketahui oleh dua buah pesawat terbang Belanda jenis Neptune dan Firefly serta dua kapal perang Belanda jenis Destroyer dan Fregat yang berada pada posisi jarak 7 mil. Kedua pesawat dan kapal perang tersebut menembakkan peluru suar ke arah kapal KRI yang segera dibalas kembali oleh KRI Macan Tutul dan KRI Harimau. Tembakan itu dibalas kembali oleh kedua kapal perang Belanda dan berkobarlah pertempuran yang tidak seimbang. KRI Macan Tutul terkena tembakan peluru meriam di bagian anjungan dan lambung yang mengakibatkan kapal tersebut terbakar dan tenggalam pada pukul 21.40 waktu setempat bersama Komodor aut Yos Sudarso.


  • Panglima Mandala sedang memberikan penjelasan Tugas-tugas Operasi Mandala (1962)

Setelah wewenang diberikan kepada Mayoe Jenderal Soeharto sebagai panglima Komando Mandala, ia segera menyusun Organisasi Komando Mandala dengan ciri-cirinya meliputi wilayah Indonesia Timur, menyelenggarakan operasi-operasi militer pada waktunya dalam rangka Trikora Pembebasan Irian Barat. Sesuai dengan tugas dan fungsinya Mayor Jenderal Soeharto senantiasa memberikan penjelasan kepada para Perwira Stafnya mengenai Operasi Pembebasan Irian Barat.

  • Panglima Mandala Melakukan Peninjauan Kekuatan Tempur di garis Depan (1962)

Berdasarkan suatu konsep, bahwa daerah mandala adalah kawasan perang, maka Panglima Kawasan merangkap sebagai Panglima Komponen. Komponen-komponen utama dari mandala adalah:
1. Angkatan Darat Mandala (ADLA);
2. Angkatan Laut Mandala (ALLA);
3. ANgkatan Udara Mandala (AULA).

Sehubungan dengan itu, Panglima Mandala Mayjen Soeharto bersama Panglima Angkatan Laut Mandala Komodor Laut R. Soedomo mengadakan peninjauan terhadap kekuatan tempur pasukan Cadangan Umum Angkatan Darat (CADUAD) di salah satu tempat di garis depan.


  • Infiltrasi Pasukan Lewat Udara ke Merauke, 24 Juni 1962

Pada tanggal 24 Juni 1962 dilakukan penerjunan lewat udara sasaran Merauke dengan Sandhi Operasi Naga di bawah pimpinan Kapten L.B. Moerdani. Penerjunan ini menggunakan 3 pesawat Hercules C-130 AURI. Pasukan yang diterjunkan terdiri dari Tim I Detasemen Pasukan Chusus (DPU) RPKAD berjumlah 55 orang dan Kie-2 Yon 530/Brawijaya berjumlah 160 orang. Penerjunan tidak mengenai sasaran yang diinginkan karena dilakukan pukul 02.00 dinihari, hutannya lebat dan ditumbuhi pepohonan yang tinggi. Setelah pesawat berputar-putar mulailah dilakukan penerjunan. Tim I RPKAD bersama Komandan Operasi jatuh di sebelah timur Kombe dan 9 orang lagi jatuh di sebelah barat sungai itu. Sedangkan Kie-2 Yon 530/Brawijaya jatuh di sebelah timur Sungai Maro.

  • Penyerahan Irian Barat dari Belanda ke UNTEA, 15 Agustus 1962

Hasil dari persetujuan New York pada tanggal 15 Agustus 1962, selambat-lambatnya tanggal 31 Mei 1963 Pemerintahan Irian Barat diserahkan kepada PBB yang diwakili oleh UNTEA. Perjanjian ini ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri RI dan Menteri Luar Negeri Belanda Dr. J. Luns yang diwakili oleh Duta Besar belanda di PBB Dr. Van Rojen. Tanggal 31 Desember 1962 bendera kerajaan Belanda diturunkan dan diganti dengan bendera PBB dan Bendera Sang Merah Putih. Sejak itu berakhirlah kekuasaan Belanda di daratan Irian Barat.


  • Penyerahan Irian Barat dari UNTEA ke Republik Indonesia, 1 Mei 1963

Pada tanggal 1 Mei 1963 dilaksanakan penyerahan kekuasaan pemerintahan Irian Barat dari UNTEA kepada Pemerintah Republik Indonesia oleh Dr. Djalal Abduh kepada pihak Indonesia yang diwakili oleh Mr. Sudjarwo Tjondronegoro dan utusan PBB di Hollandia. Penyerahan kekuasaan itu ditandai dengan penurunan bendera UNTEA dan pengibaran Sang Saka Merah Putih, yang dilanjutkan dengan defile pasukan dari Pakistan, APRI, Polisi Papua di Irian Barat dan diikuti oleh demonstrasi pesawat terbang AURI dari berbagai jenis antara lain Tu-16 KS.

  • Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian Barat, Juli 1969

Pada tanggal 15 Agustus 1962 di New York diadakan penandatanganan persetujuan penyelesaian konflik Irian Barat antara RI dengan Belanda. Dalam persetujuan itu antara lain disebutkan bahwa Indonesia menyetujui untuk memberikan kesempatan rakyat Irian Barat menyatakan pilihannya secara bebas, selambat-lambatnya tujuh tahun setelah pemerintahan berada di tangan Indonesia. Pelaksanaan kegiatan ini dibantu oleh PBB. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dilaksanakan bulan Juli 1969.



Catatan Sejarah Makassar di Monumen Mandala:


  • Perang Makassar melawan Belanda di bawah Pimpinan Sultan Hasanuddin, 1666-1669

Pertempuran seru memperebutkan Benteng Somba Opu yang menjadi kegiatan kerajaan Gowa di Makassar. Pertempuran ini terjadi pada tahun 1668. Dari pihak Belanda tewas antara lain seorang Kapten bernama David Steiger serta menghancurkan dua buah sekoci, sebuah kapal Belanda dan menewaskan kurang lebih 180 orang pasukan Belanda. Pada peristiwa ini rakyat Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin sedangkan pihak Belanda dipimpin Speelman. Akhirnya pada tanggal 24 Juni 1669 Benteng Somba Opu jatuh ke tangan Belanda. Walaupun demikian Belanda mengakui atas keberanian para pahlawan Gowa di bawah Pimpinan Sultan Hasanuddin sehingga Belanda memberi julukan sebagai "Ayam-ayam jantan Benua Timur".


  • Perlawanan Rakyat Wajo terhadap Belanda di bawah Pimpinan La maddukelleng, 1736-1741

Usaha Belanda menaklukan Wajo telah dihadapi oleh La Maddukelleng selaku Arung Matowa Wajo. Sementara itu pasukan Belanda dipimpin Gubernur Admiral Smout berangkat dari Cenrana menyusuri sungai Topace'do mendarat di daerah Tonrange untuk menyerang kedudukan La Maddukelleng di Tosara. La Maddukelleng segera menyerang kedudukan Belanda di Tonrange. Terjadilah pertempuran sengit di tepi sungai Topace'do daerah Tonrange. Tosara pada tanggal 3 Maret 1741 sebagaimana digambarkan dalam diorama. Serangan pendadakan ini menyebabkan kedudukan Belanda porak poranda. Beberapa pucuk meriam dan senjata lainnya berhasil dirampas, 100 prajurit Belanda yang disebut Paccillocillo (pemakai topi) berhasil dibunuh. Hal ini menyebabkan Gubernur Admiral Smout pada tanggal 21 April 1741 menarik mundur pasukannya ke Makassar.


  • Perlawanan Rakyat Mandar di bawah Pimpinan Maradia Tokape menghadapi ekspedisi Belanda, 1890

Untuk memperlancar kegiatan ekonomi Belanda berusaha menguasai daerah Mandar penghasil kopra terbesar di Sulawesi Selatan. Diantara kerajaan Mandar, Kerajaan Balanipa merupakan basis terkuat perlawanan rakyat Mandar dalam menolak kekuasaan Belanda. Untuk itu Belanda mengajak kerjasama dengan Maradia Tokape dari Balanipa. Namun beliau menolak bahkan mengadakan perlawanan terhadap Belanda dengan cara menghadang Pasukan Belanda yang mendarat di Majene. Meskipun Istana dipertahankan dengan sengit akhirnya Maradia Tokape beserta pasukan pengawalnya berhasil ditangkap Belanda yang kemudian dibawa ke Makassar selanjutnya ke Jakarta dan akhirnya dibuang ke Pacitan, Jawa Timur.

  • Perlawanan Rakyat Bone terhadap Belanda di bawah Pimpinan Raja La Pawawoi Karaeng Segeri, 1905

Kerajaan Bone merupakan salah satu kerajaan terkemuka di Sulawesi Selatan yang juga gigih menentang kekuasaan penjajahan Belanda. Dalam upaya melumpuhkan kekuatan kerajaan Bone, Belanda lebih kurang empat kali mengadakan penyerangan terhadap Bone yang dikenal dengan sebutan Bonische Expedition (Ekspedisi Bone) yang dilaksanakan Belanda melalui laut. Pada saat Kerajaan Bone diperintah oleh Raja Bone XXXI bernama La Pawawoi Karaeng Segeri, perlawanan terhadap Belanda mencapai puncaknya. Ia bergerilya melawan Belanda meliputi daerah Bone, Wajo, Sidenreng dan Pare-Pare (dari Watampone sampai Pantai Makassar) dengan cara ditandu karena usia lanjut (80 tahun) dengan dikawal puteranya sendiri bernama Petta Punggawa. Dalam pertempuran di Batu daerah Pitu Ri Ase wilayah kerajaan Sidenreng puteranya yang setia tewas dan Karaeng Segeri berhasil ditangkap tidak jauh dari tempat puteranya tewas. Akhirnya ia diasingkan ke Bandung terus ke Jakarta dan meninggal pada tanggal 17 Januari 1911 di Jakarta.


  • Perlawanan Rakyat Tana Toraja terhadap Belanda di pimpin oleh Pong Tiku, 1906

"Moka Ulungku, Moka Lettekku Naparenta To Buta" artinya "Kaki dan tanganku tak mau dijajah oleh orang buta (Belanda)", itulah ucapan Pong Tiku ketika ia menolak panggilan Belanda. Konsekuensinya Pong Tiku harus bersiap-siap menerima serangan Belanda, dan terjadilah pertempuran bulan Juni 1906 di Desa Ledan. Dalam menghadapi Belanda, Pong Tiku melaksanakan perang gerilya, berpindah-pindah dari satu kubu ke kubu yang lain, dari gunung Kado ke Rinding Allo, akhirnya pindah ke Lali'londong. Pada tanggal 7 Juli 1907 Ambo Dake yang diutus oleh Puang Randanan menemui Pong Tiku di Gua Batu tempat persembunyiannya, diam-diam dibuntuti pasukan Belanda dan berhasil menyergap Pong Tiku saat keluar dari Gua, lalu dibawa ke Rantepao. Tiga hari kemudian, tanggal 10 Juli 1907 Pong Tiku ditembak mati oleh Belanda di tepi sungai Sa'dang di pinggir Kota Rantepao.

  • Perlawanan Rakyat dipimpin Jemma di Palopo, 23 Januari 1946

Disini terjadi dua kali perlawanan Rakyat Luwu di Palopo pada tanggal 23 Januari 1946. Pertama, kedatangan pasukan NICA (KNIL) bersama dengan pasukan Australia yang datang di Palopo untuk mengambil tahanan perang dan pasukan Jepang. Kedua, rakyat yang marah dengan pasukan KNIL yang mengotori Masjid BUA dengan tidak membuka sepatunya, dan menghidakan Al-Quran, dan menembaki masjid dengan senjatanya. Andi Jemma Datu Luwu memerintahkan agar rakyat menyerang kembali pasukan asing tersebut setelah ultimatum yang diberikan kepada KNIL tidak dihiraukan ke barak-baraknya. Penyerangan ini sedikit menghancurkan pasukan asing di Palopo.

Entri Populer

Kamis, 06 Februari 2014

MONUMEN MANDALA " PEMBEBASAN IRIAN BARAT " Saksi sejarah yang tak terlupakan



Operasi Trikora, juga disebut Pembebasan Irian Barat, adalah konflik 2 tahun yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah Papua bagian barat. Pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno (Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta. Soekarno juga membentuk Komando Mandala. Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia.

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua bagian barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu 1 tahun.

Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua bagian barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena Indonesia mengklaim Papua bagian barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia beberapa kali menyerang Papua bagian barat, Belanda mempercepat program pendidikan di Papua bagian barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957. Sebagai kelanjutan, pada 17 Agustus 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Tidore, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah yang dilantik pada tanggal 23 September 1956.

Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun tidak menyebut kandungan emas ataupun tembaga.

Demikian sejarah singkat tentang Operasi Trikora, kembali kepada perjalanan ini, ternyata di dalam monumen terdapat biorama yang dapat dilihat sebagai cacatan sejarah bangsa ini.


Monumen/Prasasti Anggota TNI Yang Gugur/Hilang Tercatat 215 Orang


Catatan Sejarah Di Monumen Mandala

  • Kongres Rakyat Pembentukan Provinsi Irian Barat di Maluku (1955)

Sesuai hasil Kongres Rakyat seluruh Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta pada bulan Agustus 1955 yang dihadiri 500 orang wakil-wakil dari berbagai daerah yang telah menghasilkan suatu resolusi mengenai Irian Barat. Resolusi tersebut antara lain berbunyi: Perjuangan untuk pembebasan Irian Barat merupakan sebagain dari perjuangan nasional rakyat Indonesia dan pembentukan Provinsi Irian Barat harus dipercepat. Sebagai tindak lanjut dari resolusi tersebut dalam tahun itu juga di Soasiu, Maluku dibentuk Kongres Rakyat Pembentukan Provinsi Irian Barat. Presiden Soekarno secara resmi mengesahkan pembentukan Provinsi Irian Barat dan menunjuk Sultan Zainal Abidin Sjah sebagai gubernurnya. Di hadapan peserta kongres, Menteri Dalam Negeri melantik secara resmi Sultan Zainal Abidin Sjah sebagai Gubernur Irian Barat.

  • Pembentukan Front Nasional Pembebasan Irian Barat (17 Januari 1958)

GUna merealisasikan pidato kenegaraan Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1958 yang berjudul Tahun Tantangan, maka ditempuhlah jalan lain di luar diplomasi dalam penyelesaian masalah Irian Barat. Sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Perang Pusat No. Kpts (Peperpu) 012/1958 maka pada tanggal 17 Januari 1958 dibentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) yang diketuai oleh KSAD Mayor Jenderal A.H. Nasution di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) Jakarta. Sebagai Sekretaris Jenderal FNPIB adalah Letnan Kolonel Pamoe Rahardjo, sedangkan anggota-anggotanya terdiri dari Badan Kerja Sama (BKS) Pemuda Militer, BKS Tani Militer, BKS Buruh Militer, BKS Wanita Militer, BKS Ulama Militer, BKS Khusus dan Badan Pekerja Legium Veteran.


  • Tri Komando Rakyat (19 Desember 1961)

Sehubungan dengan sikap Belanda yang tidak bersedia menyelesaikan konflik Irian Barat melalui forum PBB, Pemerintah RI tidak bersedia lagi melakukan perundingan. Sejak saat itu Pemerintah RI menitikberatkan perjuangan pembebasan Irian Barat dalam bidang militer. Sebagai tindak lanjut pada tanggal 19 Desember 1961 di Alun-Alun Yogyakarta Presiden Soekarno mengkomandokan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) yang berbunyi sebagai berikut:

  1. Gagalkan pembentukan Negara Boneka Papua buatan Belanda;
  2. Kibarkan Sang Merah Putih di irian Barat tanah Air Indonesia;
  3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

  • Mobilisasi Umum, 4-8 Januari 1962 di Makassar

Tindak lanjut dari TRIKORA, maka di seluruh Indonesia mulai dari tigkat Pusat dan Daerah dilakukan mobilisasi umum dalam rangka pembebasan Irian Barat. Seluruh kekuatan cadangan Nasional dikerahkan. Sebelum dilakukan mobilisasi umum didahului dengan kampanye melalui rapat-rapat raksasa mulai dari tingkat Pusat hingga Daerah. Pada tanggal 4 s.d. 8 Januari 1962 di Lapangan Karebosi Makassar diadakan rapat raksasa dalam rangka pembebasan Irian Barat. Dalam rapat itu hadir Presiden Soekarno, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal A.H. Nasution dan Panglima Daerah Militer XIV/Hasanuddin. Pada kesempatan itu Presiden Soekarno mengatakan "Rebut Irian Barat sebelum Ayam Berkokok".


  • Pelantikan Panglima Mandala di Istana Bogor oleh Presiden Soekarno, 13 Januari 1962

Setelah Trikora dikomandokan di Yogyakarta, pada tanggal 2 Januari 1962 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Nomor 1/1962 yang isinya membentuk Komando Mandala untuk membebaskan Irian Barat bersifat gabungan. Kemudian Presiden Soekarno menunjuk Brigadir Jenderal (Brigjen) Soeharto dan menaikkan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal (Mayjen), sebagai Deputy Wilayah Indonesia Timur dan Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Mayor Jenderal Soeharto dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 13 Januari 1962 di Istana Bogor.


  • Pertempuran Laut Aru, 15 januari 1962

Tiga buah kapal Motor Terpedo Boat (MTB) ALRI, yaitu KRI Macan Tutul, KRI Macan Kumbang, dan KRI Harimau, pada tanggal 15 Januari 1962 melakukan gerakan malam di sekitar Kepulauan Aru. Gerakan ini bertujuan untuk melakukan infiltrasi pasukan ke daerah Irian Barat lewat laut. Gerakan kapal ALRI tersebut telah diketahui oleh dua buah pesawat terbang Belanda jenis Neptune dan Firefly serta dua kapal perang Belanda jenis Destroyer dan Fregat yang berada pada posisi jarak 7 mil. Kedua pesawat dan kapal perang tersebut menembakkan peluru suar ke arah kapal KRI yang segera dibalas kembali oleh KRI Macan Tutul dan KRI Harimau. Tembakan itu dibalas kembali oleh kedua kapal perang Belanda dan berkobarlah pertempuran yang tidak seimbang. KRI Macan Tutul terkena tembakan peluru meriam di bagian anjungan dan lambung yang mengakibatkan kapal tersebut terbakar dan tenggalam pada pukul 21.40 waktu setempat bersama Komodor aut Yos Sudarso.


  • Panglima Mandala sedang memberikan penjelasan Tugas-tugas Operasi Mandala (1962)

Setelah wewenang diberikan kepada Mayoe Jenderal Soeharto sebagai panglima Komando Mandala, ia segera menyusun Organisasi Komando Mandala dengan ciri-cirinya meliputi wilayah Indonesia Timur, menyelenggarakan operasi-operasi militer pada waktunya dalam rangka Trikora Pembebasan Irian Barat. Sesuai dengan tugas dan fungsinya Mayor Jenderal Soeharto senantiasa memberikan penjelasan kepada para Perwira Stafnya mengenai Operasi Pembebasan Irian Barat.

  • Panglima Mandala Melakukan Peninjauan Kekuatan Tempur di garis Depan (1962)

Berdasarkan suatu konsep, bahwa daerah mandala adalah kawasan perang, maka Panglima Kawasan merangkap sebagai Panglima Komponen. Komponen-komponen utama dari mandala adalah:
1. Angkatan Darat Mandala (ADLA);
2. Angkatan Laut Mandala (ALLA);
3. ANgkatan Udara Mandala (AULA).

Sehubungan dengan itu, Panglima Mandala Mayjen Soeharto bersama Panglima Angkatan Laut Mandala Komodor Laut R. Soedomo mengadakan peninjauan terhadap kekuatan tempur pasukan Cadangan Umum Angkatan Darat (CADUAD) di salah satu tempat di garis depan.


  • Infiltrasi Pasukan Lewat Udara ke Merauke, 24 Juni 1962

Pada tanggal 24 Juni 1962 dilakukan penerjunan lewat udara sasaran Merauke dengan Sandhi Operasi Naga di bawah pimpinan Kapten L.B. Moerdani. Penerjunan ini menggunakan 3 pesawat Hercules C-130 AURI. Pasukan yang diterjunkan terdiri dari Tim I Detasemen Pasukan Chusus (DPU) RPKAD berjumlah 55 orang dan Kie-2 Yon 530/Brawijaya berjumlah 160 orang. Penerjunan tidak mengenai sasaran yang diinginkan karena dilakukan pukul 02.00 dinihari, hutannya lebat dan ditumbuhi pepohonan yang tinggi. Setelah pesawat berputar-putar mulailah dilakukan penerjunan. Tim I RPKAD bersama Komandan Operasi jatuh di sebelah timur Kombe dan 9 orang lagi jatuh di sebelah barat sungai itu. Sedangkan Kie-2 Yon 530/Brawijaya jatuh di sebelah timur Sungai Maro.

  • Penyerahan Irian Barat dari Belanda ke UNTEA, 15 Agustus 1962

Hasil dari persetujuan New York pada tanggal 15 Agustus 1962, selambat-lambatnya tanggal 31 Mei 1963 Pemerintahan Irian Barat diserahkan kepada PBB yang diwakili oleh UNTEA. Perjanjian ini ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri RI dan Menteri Luar Negeri Belanda Dr. J. Luns yang diwakili oleh Duta Besar belanda di PBB Dr. Van Rojen. Tanggal 31 Desember 1962 bendera kerajaan Belanda diturunkan dan diganti dengan bendera PBB dan Bendera Sang Merah Putih. Sejak itu berakhirlah kekuasaan Belanda di daratan Irian Barat.


  • Penyerahan Irian Barat dari UNTEA ke Republik Indonesia, 1 Mei 1963

Pada tanggal 1 Mei 1963 dilaksanakan penyerahan kekuasaan pemerintahan Irian Barat dari UNTEA kepada Pemerintah Republik Indonesia oleh Dr. Djalal Abduh kepada pihak Indonesia yang diwakili oleh Mr. Sudjarwo Tjondronegoro dan utusan PBB di Hollandia. Penyerahan kekuasaan itu ditandai dengan penurunan bendera UNTEA dan pengibaran Sang Saka Merah Putih, yang dilanjutkan dengan defile pasukan dari Pakistan, APRI, Polisi Papua di Irian Barat dan diikuti oleh demonstrasi pesawat terbang AURI dari berbagai jenis antara lain Tu-16 KS.

  • Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian Barat, Juli 1969

Pada tanggal 15 Agustus 1962 di New York diadakan penandatanganan persetujuan penyelesaian konflik Irian Barat antara RI dengan Belanda. Dalam persetujuan itu antara lain disebutkan bahwa Indonesia menyetujui untuk memberikan kesempatan rakyat Irian Barat menyatakan pilihannya secara bebas, selambat-lambatnya tujuh tahun setelah pemerintahan berada di tangan Indonesia. Pelaksanaan kegiatan ini dibantu oleh PBB. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dilaksanakan bulan Juli 1969.



Catatan Sejarah Makassar di Monumen Mandala:


  • Perang Makassar melawan Belanda di bawah Pimpinan Sultan Hasanuddin, 1666-1669

Pertempuran seru memperebutkan Benteng Somba Opu yang menjadi kegiatan kerajaan Gowa di Makassar. Pertempuran ini terjadi pada tahun 1668. Dari pihak Belanda tewas antara lain seorang Kapten bernama David Steiger serta menghancurkan dua buah sekoci, sebuah kapal Belanda dan menewaskan kurang lebih 180 orang pasukan Belanda. Pada peristiwa ini rakyat Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin sedangkan pihak Belanda dipimpin Speelman. Akhirnya pada tanggal 24 Juni 1669 Benteng Somba Opu jatuh ke tangan Belanda. Walaupun demikian Belanda mengakui atas keberanian para pahlawan Gowa di bawah Pimpinan Sultan Hasanuddin sehingga Belanda memberi julukan sebagai "Ayam-ayam jantan Benua Timur".


  • Perlawanan Rakyat Wajo terhadap Belanda di bawah Pimpinan La maddukelleng, 1736-1741

Usaha Belanda menaklukan Wajo telah dihadapi oleh La Maddukelleng selaku Arung Matowa Wajo. Sementara itu pasukan Belanda dipimpin Gubernur Admiral Smout berangkat dari Cenrana menyusuri sungai Topace'do mendarat di daerah Tonrange untuk menyerang kedudukan La Maddukelleng di Tosara. La Maddukelleng segera menyerang kedudukan Belanda di Tonrange. Terjadilah pertempuran sengit di tepi sungai Topace'do daerah Tonrange. Tosara pada tanggal 3 Maret 1741 sebagaimana digambarkan dalam diorama. Serangan pendadakan ini menyebabkan kedudukan Belanda porak poranda. Beberapa pucuk meriam dan senjata lainnya berhasil dirampas, 100 prajurit Belanda yang disebut Paccillocillo (pemakai topi) berhasil dibunuh. Hal ini menyebabkan Gubernur Admiral Smout pada tanggal 21 April 1741 menarik mundur pasukannya ke Makassar.


  • Perlawanan Rakyat Mandar di bawah Pimpinan Maradia Tokape menghadapi ekspedisi Belanda, 1890

Untuk memperlancar kegiatan ekonomi Belanda berusaha menguasai daerah Mandar penghasil kopra terbesar di Sulawesi Selatan. Diantara kerajaan Mandar, Kerajaan Balanipa merupakan basis terkuat perlawanan rakyat Mandar dalam menolak kekuasaan Belanda. Untuk itu Belanda mengajak kerjasama dengan Maradia Tokape dari Balanipa. Namun beliau menolak bahkan mengadakan perlawanan terhadap Belanda dengan cara menghadang Pasukan Belanda yang mendarat di Majene. Meskipun Istana dipertahankan dengan sengit akhirnya Maradia Tokape beserta pasukan pengawalnya berhasil ditangkap Belanda yang kemudian dibawa ke Makassar selanjutnya ke Jakarta dan akhirnya dibuang ke Pacitan, Jawa Timur.

  • Perlawanan Rakyat Bone terhadap Belanda di bawah Pimpinan Raja La Pawawoi Karaeng Segeri, 1905

Kerajaan Bone merupakan salah satu kerajaan terkemuka di Sulawesi Selatan yang juga gigih menentang kekuasaan penjajahan Belanda. Dalam upaya melumpuhkan kekuatan kerajaan Bone, Belanda lebih kurang empat kali mengadakan penyerangan terhadap Bone yang dikenal dengan sebutan Bonische Expedition (Ekspedisi Bone) yang dilaksanakan Belanda melalui laut. Pada saat Kerajaan Bone diperintah oleh Raja Bone XXXI bernama La Pawawoi Karaeng Segeri, perlawanan terhadap Belanda mencapai puncaknya. Ia bergerilya melawan Belanda meliputi daerah Bone, Wajo, Sidenreng dan Pare-Pare (dari Watampone sampai Pantai Makassar) dengan cara ditandu karena usia lanjut (80 tahun) dengan dikawal puteranya sendiri bernama Petta Punggawa. Dalam pertempuran di Batu daerah Pitu Ri Ase wilayah kerajaan Sidenreng puteranya yang setia tewas dan Karaeng Segeri berhasil ditangkap tidak jauh dari tempat puteranya tewas. Akhirnya ia diasingkan ke Bandung terus ke Jakarta dan meninggal pada tanggal 17 Januari 1911 di Jakarta.


  • Perlawanan Rakyat Tana Toraja terhadap Belanda di pimpin oleh Pong Tiku, 1906

"Moka Ulungku, Moka Lettekku Naparenta To Buta" artinya "Kaki dan tanganku tak mau dijajah oleh orang buta (Belanda)", itulah ucapan Pong Tiku ketika ia menolak panggilan Belanda. Konsekuensinya Pong Tiku harus bersiap-siap menerima serangan Belanda, dan terjadilah pertempuran bulan Juni 1906 di Desa Ledan. Dalam menghadapi Belanda, Pong Tiku melaksanakan perang gerilya, berpindah-pindah dari satu kubu ke kubu yang lain, dari gunung Kado ke Rinding Allo, akhirnya pindah ke Lali'londong. Pada tanggal 7 Juli 1907 Ambo Dake yang diutus oleh Puang Randanan menemui Pong Tiku di Gua Batu tempat persembunyiannya, diam-diam dibuntuti pasukan Belanda dan berhasil menyergap Pong Tiku saat keluar dari Gua, lalu dibawa ke Rantepao. Tiga hari kemudian, tanggal 10 Juli 1907 Pong Tiku ditembak mati oleh Belanda di tepi sungai Sa'dang di pinggir Kota Rantepao.

  • Perlawanan Rakyat dipimpin Jemma di Palopo, 23 Januari 1946

Disini terjadi dua kali perlawanan Rakyat Luwu di Palopo pada tanggal 23 Januari 1946. Pertama, kedatangan pasukan NICA (KNIL) bersama dengan pasukan Australia yang datang di Palopo untuk mengambil tahanan perang dan pasukan Jepang. Kedua, rakyat yang marah dengan pasukan KNIL yang mengotori Masjid BUA dengan tidak membuka sepatunya, dan menghidakan Al-Quran, dan menembaki masjid dengan senjatanya. Andi Jemma Datu Luwu memerintahkan agar rakyat menyerang kembali pasukan asing tersebut setelah ultimatum yang diberikan kepada KNIL tidak dihiraukan ke barak-baraknya. Penyerangan ini sedikit menghancurkan pasukan asing di Palopo.