Rabu, 05 Februari 2014

Notonegoro Menata Bangsa Menata Kemandiriannya

Notonegoro atau menata negara. Yang katanya ramalan Indonesia nanti punya presiden yang notonegoro lalu dibuat plesetan “no” itu soekarno “to” itu itu soeharto dan seterusnya. Bagi saya nggak sesederhana itu, terus kita mau cari-cari presiden yang namanya mengandung unsur “ro”. Lalu selesai masa depan Indonesia pada presiden yang namanya mengandung unsur “ro”, kan enggak.
Bagi saya yang namanya menata negara itu atau menata apapun harus punya dasar untuk apa kita menata itu, apa yang menjadi modal dasar suatu tatanan agar kita hidup sesuai dengan yang diharapkan tentunya kan kita semua mau hidup makmur, adil dan sejahtera. Misal sederhananya saya au menata rumah tangga maka disitu dibutuhkan cinta dan kasih sayang, keinginan untuk bersatu, sebagai bangsa kita sudah bersatu sejak 1945 dinyatakan indonesia merdeka. Sudah menikah dan bersatu, apa yang dibutuhkan untuk meneruskan mahligai pernikahan yang bahagia dan sejahtera. Nafkah, nafkah ini bukan sekedar punya kemampuan ekonomi.
Kalau kita sedikit kilas balik, mengapa negara ini diduduki kedaulatan politiknya agar bisa dikuasai sebelum merdeka, karena kita tidak punya daya beli, tidak mengenal uang. Kalau orang Indonesia sudah mengenal uang sudah punya daya beli untuk apa diduduki secara politik, kita sudah cukup melek bahkan untuk kisruh berebut kekuasaan, ekonomi kita saja dikuasai.
Kembali lagi kepada tatanan suatu negara, setelah ada cinta atau rasa ingin bersatu dalam bentuk kemerdekaan politik, kita butuh suatu sumberdaya untuk melangsungkan kehidupan. Sejak jaman manusia purba orang tanpa disuruh sudah melakukan ini, tapi di dalam bernegara akan berbeda. Ini butuh suatu kebijakan politik, keinginan bersama. Apa sih itu, ini soal makan. Sederhana sekali, manusia itu cuma butuh makan untuk hidup. Bukan uang, gejala materialisme ini yang membuat tatanan negara kita carut marut, mereka memang berfikir dengan uang bisa membeli segalanya, jangankan untuk makan, mau apa saja bisa. Tapi kita bernegara, dalam suatu sistem yang kesejahteraan itu milik kita bersama, tanah-tanah ini awalnya tidak ada yang memiliki karena ini milik semua. Memang uang adalah alat yang bisa digunakan untuk membeli makanan, lalu kita harus beli beli dan beli, dengan mental membeli maka akan sangat mudah negara ini diterpa krisis.
Kalau dari makanan saja kita tidak punya alias hanya bisa membeli (impor) bagaimana bangsa ini bisa hidup dengan kemandiriannya. Karunia Tuhan kepada Indonesia itu dijadikannya tanah yang subur dan air yang melimpah. Dijadikannya kita berpulau-pulau jangankan di darat di laut pun kita bisa menghasilkan makanan. Maka dasar dari tananan negara setelah cinta kasih itu adalah berdasarkan kenyataan-kenyataan objektif sebagai bangsa indonesia sebagai bangsa kepulauan adalah orientasi maritim dan agraris. Siapa presiden yang memimpin negeri ini dengan orientasi maritim dan agraris yang kuat dia lah seorang “Notonegoro”.
Bukan aktivis politik, bukan orang hukum, bukan orang pendidikan. Sudah banyak orang politik kita yang pinter-pinter bikin teori, sudah banyak orang hukum kita yang bisa dan lihai membuat yang salah terlihat benar dan benar bisa jadi salah, sudah banyak orang-orang berpendidikan mahal. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa ketika harga bawang saja naik selain teriak-teriak, harga daging mahal teriak-teriak, karena yang kita bentuk dalam pertumbuhan ekonomi ini hanya daya beli. Lalu kalau daging impor akhirnya rebutan kuota impor. Orang yang waras akalnya dia akan berpikir, bagaimana saya menghasilkan bawang sendiri, bagaimana saya menghasilkan daging sendiri, mental seperti itu hanya dimiliki oleh seorang “Notonegoro” mental-mental penguasa asal rakyat bisa beli, semua saja diimpor. Lalu kalau rakyat tidak bisa beli dia iming-imingi dengan subsidi. Kita terus saja dibuai hal-hal seperti ini, yang sanggup beli dia berpikir bagaimana saya harus dapatkan semakin banyak uang untuk bisa membeli banyak hal, yang tidak mampu dia berfikir bagaimana penguasa ini bisa mendengar jeritanku agar aku bisa menerima subsidi dan belas kasihannya. Lalu kapan kita mandiri? Menjadi bangsa yang kuat, bukan bangsa yang cari makan tapi menghasilkan makanan.
Notonegoro itu menata kemandiriannya bangsa, mandiri itu dia bisa menghidupi dirinya sendiri, tapi dengan tidak membeli. Kalau bangsa ini orientasinya food, bangsa manapun di dunia ini akan menjadi sahabatnya. Apakah di 2014 kita akan menemukan presiden yang bermental Notonegoro? Kita tidak tau, semua masih samar.

Entri Populer

Rabu, 05 Februari 2014

Notonegoro Menata Bangsa Menata Kemandiriannya

Notonegoro atau menata negara. Yang katanya ramalan Indonesia nanti punya presiden yang notonegoro lalu dibuat plesetan “no” itu soekarno “to” itu itu soeharto dan seterusnya. Bagi saya nggak sesederhana itu, terus kita mau cari-cari presiden yang namanya mengandung unsur “ro”. Lalu selesai masa depan Indonesia pada presiden yang namanya mengandung unsur “ro”, kan enggak.
Bagi saya yang namanya menata negara itu atau menata apapun harus punya dasar untuk apa kita menata itu, apa yang menjadi modal dasar suatu tatanan agar kita hidup sesuai dengan yang diharapkan tentunya kan kita semua mau hidup makmur, adil dan sejahtera. Misal sederhananya saya au menata rumah tangga maka disitu dibutuhkan cinta dan kasih sayang, keinginan untuk bersatu, sebagai bangsa kita sudah bersatu sejak 1945 dinyatakan indonesia merdeka. Sudah menikah dan bersatu, apa yang dibutuhkan untuk meneruskan mahligai pernikahan yang bahagia dan sejahtera. Nafkah, nafkah ini bukan sekedar punya kemampuan ekonomi.
Kalau kita sedikit kilas balik, mengapa negara ini diduduki kedaulatan politiknya agar bisa dikuasai sebelum merdeka, karena kita tidak punya daya beli, tidak mengenal uang. Kalau orang Indonesia sudah mengenal uang sudah punya daya beli untuk apa diduduki secara politik, kita sudah cukup melek bahkan untuk kisruh berebut kekuasaan, ekonomi kita saja dikuasai.
Kembali lagi kepada tatanan suatu negara, setelah ada cinta atau rasa ingin bersatu dalam bentuk kemerdekaan politik, kita butuh suatu sumberdaya untuk melangsungkan kehidupan. Sejak jaman manusia purba orang tanpa disuruh sudah melakukan ini, tapi di dalam bernegara akan berbeda. Ini butuh suatu kebijakan politik, keinginan bersama. Apa sih itu, ini soal makan. Sederhana sekali, manusia itu cuma butuh makan untuk hidup. Bukan uang, gejala materialisme ini yang membuat tatanan negara kita carut marut, mereka memang berfikir dengan uang bisa membeli segalanya, jangankan untuk makan, mau apa saja bisa. Tapi kita bernegara, dalam suatu sistem yang kesejahteraan itu milik kita bersama, tanah-tanah ini awalnya tidak ada yang memiliki karena ini milik semua. Memang uang adalah alat yang bisa digunakan untuk membeli makanan, lalu kita harus beli beli dan beli, dengan mental membeli maka akan sangat mudah negara ini diterpa krisis.
Kalau dari makanan saja kita tidak punya alias hanya bisa membeli (impor) bagaimana bangsa ini bisa hidup dengan kemandiriannya. Karunia Tuhan kepada Indonesia itu dijadikannya tanah yang subur dan air yang melimpah. Dijadikannya kita berpulau-pulau jangankan di darat di laut pun kita bisa menghasilkan makanan. Maka dasar dari tananan negara setelah cinta kasih itu adalah berdasarkan kenyataan-kenyataan objektif sebagai bangsa indonesia sebagai bangsa kepulauan adalah orientasi maritim dan agraris. Siapa presiden yang memimpin negeri ini dengan orientasi maritim dan agraris yang kuat dia lah seorang “Notonegoro”.
Bukan aktivis politik, bukan orang hukum, bukan orang pendidikan. Sudah banyak orang politik kita yang pinter-pinter bikin teori, sudah banyak orang hukum kita yang bisa dan lihai membuat yang salah terlihat benar dan benar bisa jadi salah, sudah banyak orang-orang berpendidikan mahal. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa ketika harga bawang saja naik selain teriak-teriak, harga daging mahal teriak-teriak, karena yang kita bentuk dalam pertumbuhan ekonomi ini hanya daya beli. Lalu kalau daging impor akhirnya rebutan kuota impor. Orang yang waras akalnya dia akan berpikir, bagaimana saya menghasilkan bawang sendiri, bagaimana saya menghasilkan daging sendiri, mental seperti itu hanya dimiliki oleh seorang “Notonegoro” mental-mental penguasa asal rakyat bisa beli, semua saja diimpor. Lalu kalau rakyat tidak bisa beli dia iming-imingi dengan subsidi. Kita terus saja dibuai hal-hal seperti ini, yang sanggup beli dia berpikir bagaimana saya harus dapatkan semakin banyak uang untuk bisa membeli banyak hal, yang tidak mampu dia berfikir bagaimana penguasa ini bisa mendengar jeritanku agar aku bisa menerima subsidi dan belas kasihannya. Lalu kapan kita mandiri? Menjadi bangsa yang kuat, bukan bangsa yang cari makan tapi menghasilkan makanan.
Notonegoro itu menata kemandiriannya bangsa, mandiri itu dia bisa menghidupi dirinya sendiri, tapi dengan tidak membeli. Kalau bangsa ini orientasinya food, bangsa manapun di dunia ini akan menjadi sahabatnya. Apakah di 2014 kita akan menemukan presiden yang bermental Notonegoro? Kita tidak tau, semua masih samar.